1/22/2015

Nelayan Puger

Nelayan di daerah pesisir puger pada prinsipnya dibedakan menjadi tiga yakni nelayan besar dengan jumlah awak kapal antara 25 – 35 orang, nelayan sedang dengan jumlah awak kapal 20-25orang, dan nelayan kecil dengan jumlah awak kapal anatar 2 – 5 orang. Secara garis besar jumlah nelayan di daerah puger di dominasi oleh nelayan kecil, dan sebagian besar dari masyarakat nelayan di puger mayoritas adalah buruh kapal yang tidak memiliki kapal sendiri. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar nelayan tradisional yang menggunakan perahu jukung hidupnya belum sejahtera, bahkan tidak sedikit yang hidup dibawah garis kemiskinan. Hal ini dapat terlihat dari kondisi perekonomian dan sosial masyarakat yang belum juga menunjukkan titik terang. Masyarakat nelayan puger harus senantiasa berperang dengan kemelut dan desakan perekonomian saat musim paceklik tiba, sehingga bukan menjadi sebuah rahasia lagi jika mereka harus mengutang dan menggadaikan sejumlah barang demi menyambung hidup. Pendapatan nelayan yang diperoleh dari kegiatan berlayar sangat dipengaruhi oleh alam seperti angin barat, cuaca, bulan purnama dan bersifat musiman. Jika mencapai musim panen (rame) pendapatan kotor nelayan kecil dalam sekali berlayar bisa mencapai Rp. 1000.000 perhari, sedangkan jika musim sepi pendapatan hanya berkisar Rp. 100.000 perhari bahkan tidak jarang mereka tidak mendapatkan penghasilan sama sekali, Sedangkan biaya biaya yang harus dipenuhi seperti bahan bakar dan konsumsi di tanggung oleh pemilik kapal berkisar antara Rp. 150.000 untuk nelayan kecil dan Rp 2000.000 untuk nelayan besar dalam sekali berlayar, tergantung pada besar dan banyaknya awak kapal. Jenis Mesin kapal yang digunakan untuk kapal kecil dan sedang adalah mesin jenis TS 120-150 cc, sedangkan kapal besar 150-250 cc. jumlah solar yang dibutuhkan adalah 10 – 20 liter untuk nelayan kecil dan 200 hingga 300 liter solar untuk nelayan besar dalam setiap melaut (kapal besar bisa 2x lipat karena jauhnya daya jelajah). Setiap melaut nelayan membutuhkan waktu 1 hingga 2 hari tergantung dari hasil tangkapan.
Komposisi bagi hasil nelayan, terdiri dari 45% untuk nelayan yang terjun langsung untuk berlayar dan 55% diberikan untuk pemilik kapal . Pola bagi hasil nelayan masih mengenal system kekeluargaan, dengan alasan rasa sungkan atau kasihan, pemilik kapal sering kali harus menelan kerugian jika hasil yang diperoleh tidak banyak (musim sepi). Menurut pak syukron (40) terkadang penghasilan 45% tersebut kurang bahkan ia seringkali menambahi untuk dapat melakukan pelayaran kembali seperti membeli bahan bakarnya, memperbaiki kerusakan jukungnya, serta untuk membelikan bekal selama pelayaran nantinya.
Nelayan Puger menolak adanya system slerek, hal ini untuk menjaga kelestarian ekosistem ikan di laut sehingga hasil tangkapan mereka tidak sebanyak nelayan didaerah lain seperti nelayanProbolinggo dan Muncar. Maksimal hasil tangkapan mereka hanya dapat menampung 80kg untuk nelayan kecil dan untuk nelayan besar 8,5 ton.
Perekonomian masyarakat nelayan di Puger dapat di ibaratkan sebagai sebuah lingkaran yang tak berujung. Pada saat musim panen ikan mereka akan melakukan invesatasi seperti membeli tanah atau emas, namun tak lama kemudian pada saat paceklik investasi dan barang berharga lainnya akan digadaikan. Pada saat musim sepi sebagian besar para nelayan puger ini tidak memiliki alternative pekerjaan lain, sehingga selama musim sepi tersebut mereka menganggur atau hanya berbenah kapal sehingga dapat dipastikan mereka tidak memiliki pemasukan pendapatan.
Pola perekonomian masyarakat nelayan dapat dikatakan masih berada pada ambang tradisional, mereka masih menggunakan cara cara tradisional dalam melaut. Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, nelayan puger sangat tergantung pada alam dan pendanaan dari pengambek. Secara praktis belum ada pemberdayaan masyarakat untuk program budidaya ikan yang bertujuan meminimalisir krisis ekonomi nelayan pada masa paceklik.
Pendapatan nelayan tidak menentu apakah itu musim angin atau musim ikan, Mereka tidak menggunakan teknologi seperti GPS untuk mencari ikan sehingga pendapatan ikan mereka tidak menentu. Mereka menggunakan penghitungan musim ikan. Awal bulan ke-5 hingga 12 adalah musim ikan. Sedangkan bulan ke-1 hingga akhirbulan ke-4 adalah paceklik ikan atau mereka biasa menyebutnya musim angin. Karena tidak adanya teknologi yang mendukung dan tidak adanya sistem yang digunakan untuk menjumlah penghasilan mereka dari tiap-tiap musim. Mereka hanya fokus untuk mencari ikan tanpa mencatat dan mengkalkulasi berapa pendapatan yang mereka peroleh dari hasil melaut tiap musimnya.
Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat struktural dan ditengarai karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur.Kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses informasi, teknologi dan permodalan, budaya serta gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar nelayan semakin lemah. Kebijakan pemerintah kurang berpihak pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar