Nelayan di daerah
pesisir puger pada prinsipnya dibedakan menjadi tiga yakni nelayan besar dengan
jumlah awak kapal antara 25 – 35 orang, nelayan
sedang dengan jumlah awak kapal 20-25orang, dan nelayan kecil
dengan jumlah awak kapal anatar 2 – 5 orang. Secara garis besar jumlah nelayan
di daerah puger di dominasi oleh nelayan kecil, dan sebagian besar dari
masyarakat nelayan di puger mayoritas adalah buruh kapal yang tidak memiliki kapal
sendiri. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar nelayan tradisional yang
menggunakan perahu jukung hidupnya belum sejahtera, bahkan tidak sedikit yang
hidup dibawah garis kemiskinan. Hal ini dapat terlihat dari kondisi
perekonomian dan sosial masyarakat yang belum juga menunjukkan titik terang.
Masyarakat nelayan puger harus senantiasa berperang dengan kemelut dan desakan
perekonomian saat musim paceklik tiba, sehingga bukan menjadi sebuah rahasia
lagi jika mereka harus mengutang dan menggadaikan sejumlah barang demi
menyambung hidup. Pendapatan nelayan yang diperoleh dari kegiatan berlayar
sangat dipengaruhi oleh alam seperti angin barat, cuaca, bulan purnama dan
bersifat musiman. Jika mencapai musim panen (rame) pendapatan kotor nelayan
kecil dalam sekali berlayar bisa mencapai Rp. 1000.000 perhari, sedangkan jika
musim sepi pendapatan hanya berkisar Rp. 100.000 perhari bahkan tidak jarang
mereka tidak mendapatkan penghasilan sama sekali, Sedangkan biaya biaya yang
harus dipenuhi seperti bahan bakar dan konsumsi di tanggung oleh pemilik kapal
berkisar antara Rp. 150.000 untuk nelayan kecil dan Rp 2000.000 untuk nelayan
besar dalam sekali berlayar, tergantung pada besar dan banyaknya awak kapal.
Jenis Mesin kapal yang digunakan untuk kapal kecil dan sedang adalah mesin
jenis TS 120-150 cc, sedangkan kapal besar 150-250 cc. jumlah solar yang
dibutuhkan adalah 10 – 20 liter untuk nelayan kecil dan 200 hingga 300 liter
solar untuk nelayan besar dalam setiap melaut (kapal besar bisa 2x lipat karena
jauhnya daya jelajah). Setiap melaut nelayan membutuhkan waktu 1 hingga 2 hari
tergantung dari hasil tangkapan.
Komposisi bagi hasil
nelayan, terdiri dari 45% untuk nelayan yang terjun langsung
untuk berlayar dan 55% diberikan untuk pemilik kapal . Pola bagi hasil
nelayan masih mengenal system kekeluargaan, dengan alasan rasa sungkan atau
kasihan, pemilik kapal sering kali harus menelan kerugian jika hasil yang
diperoleh tidak banyak (musim sepi). Menurut pak syukron (40) terkadang
penghasilan 45% tersebut kurang bahkan ia seringkali menambahi untuk dapat
melakukan pelayaran kembali seperti membeli bahan bakarnya, memperbaiki
kerusakan jukungnya, serta untuk membelikan bekal selama pelayaran nantinya.
Nelayan Puger menolak adanya
system slerek, hal ini untuk menjaga kelestarian ekosistem ikan di laut
sehingga hasil tangkapan mereka tidak sebanyak nelayan didaerah lain
seperti nelayanProbolinggo dan Muncar. Maksimal hasil
tangkapan mereka hanya dapat menampung 80kg untuk nelayan
kecil dan untuk nelayan besar 8,5 ton.
Perekonomian masyarakat
nelayan di Puger dapat di ibaratkan sebagai sebuah lingkaran
yang tak berujung. Pada saat musim panen ikan mereka akan melakukan invesatasi
seperti membeli tanah atau emas, namun tak lama kemudian pada saat paceklik
investasi dan barang berharga lainnya akan digadaikan. Pada saat musim sepi
sebagian besar para nelayan puger ini tidak memiliki alternative pekerjaan
lain, sehingga selama musim sepi tersebut mereka menganggur atau hanya berbenah
kapal sehingga dapat dipastikan mereka tidak memiliki pemasukan pendapatan.
Pola perekonomian
masyarakat nelayan dapat dikatakan masih berada pada ambang tradisional, mereka
masih menggunakan cara cara tradisional dalam melaut. Dalam melaksanakan
kegiatan operasionalnya, nelayan puger sangat tergantung pada alam dan
pendanaan dari pengambek. Secara praktis belum ada pemberdayaan masyarakat
untuk program budidaya ikan yang bertujuan meminimalisir krisis ekonomi nelayan
pada masa paceklik.
Pendapatan nelayan tidak
menentu apakah itu musim angin atau musim ikan, Mereka tidak menggunakan
teknologi seperti GPS untuk mencari ikan sehingga pendapatan ikan mereka tidak
menentu. Mereka menggunakan penghitungan musim ikan. Awal bulan ke-5 hingga 12
adalah musim ikan. Sedangkan bulan ke-1 hingga akhirbulan ke-4 adalah paceklik
ikan atau mereka biasa menyebutnya musim angin. Karena tidak adanya teknologi
yang mendukung dan tidak adanya sistem yang digunakan untuk menjumlah
penghasilan mereka dari tiap-tiap musim. Mereka hanya fokus untuk mencari ikan
tanpa mencatat dan mengkalkulasi berapa pendapatan yang mereka peroleh dari
hasil melaut tiap musimnya.
Kemiskinan masyarakat
pesisir bersifat struktural dan ditengarai karena tidak terpenuhinya hak-hak
dasar masyarakat seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan
infrastruktur.Kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses informasi,
teknologi dan permodalan, budaya serta gaya hidup yang cenderung boros,
menyebabkan posisi tawar nelayan semakin lemah. Kebijakan pemerintah kurang
berpihak pada pemangku kepentingan di wilayah pesisir itu.